Rareranews.com
Kab.Bandung
-Perkampungan kecil bernama Namicalung, dari perkampungan inilah ditemukan sisa-sisa pertenunan tradisional dalam pengolahan tekstil tradisional dengan menggunakan alat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang disebut tustel (shuttle). Alat ini mulai diperkenalkan oleh TIB (Textile Inrichting Bandoeng, yang berdiri tahun 1921 oleh G. Dalenoord) atau Institute Tekstil Bandung sekitar tahun 1927.
Jauh, sebelum ditemukan tustel, sebagian masyarakat Namicalung, desa Panyadap, Kecamatan Solokanjeruk telah mahir menggunakan alat tenun tangan yang disebut kentreung.
Dari sekian orang itu, diantaranya yang paling menonjol menggunakan alat tersebut adalah Ma Junah. Salah satu jenis hasil tenunannya berupa kain songket, Semasa mudanya, Ma Junah ini sempat menjadi penari di Pendopo Sumedang semasa pimpinan Pangeran Aria Soeriaatmadja (1882-1919 M).
Penggunaan alat tenun kentreung berlangsung hingga tahun 1940-an. Tapi, sebagian besar pengrajin banyak pula yang telah beralih menggunakan alat tenun shuttle sejak tahun 1930-an.
Pada saat itu, dengan berbekal pengalaman sebagai pengrajin tenun kentreung, begitu muncul alat baru berupa alat tenun shuttle, sebagian para pengrajin tidak terlalu mendapat kesulitan begitu mencoba alat tenun shuttle.
Adanya alat tenun shuttle sangat membantu para pengrajin dalam mengembangkan usahanya, sehingga mereka dapat mendirikan pabrik-pabrik tenun shuttle dengan kapasitas belasan hingga puluhan alat tustel untuk setiap pabrik. Mereka diantaranya adalah Oyo (di atas 10 tustel), Sukarja (di atas 10 tustel), Omo (di atas 5 tustel), Ayum (20 tustel), Kanta (20 tustel), Endi (diatas 10 tustel), Andik (di atas 10 tustel), Suwandi (diatas 10 tustel), Odjo (di atas 10 tustel), Emen (5 tustel) dan lain-lainnya.
Mereka membuat label usaha sendiri, Tjap Balintjong dan Tjap Paloe Emas milik Suwandi, Tjap Doea Kelapa Gading milik Odjo. Akan tetapi, sejak masuknya Jepang, produksi tenun sarung sempat berhenti karena kesulitan bahan baku, sehingga sebagian pengrajin sempat beralih membuat goni. Selepas Jepang, produksi sarung kembali pulih.
Ketika program berdikari diluncurkan oleh Presiden Soekarno sebagai buah kebijakan Ir. H. Djuanda Kartawijaya semasa menjabat Menteri Kemakmuran tahun 1950, produksi tenun shuttle sarung Namicalung kian memuncak dengan munculnya pengrajin-pengrajin baru. Pada saat itu, sarung Namicalung merajai pasar lokal Majalaya dan memenuhi pasar luar daerah seperti Karawang hingga Bekasi.
Ciri khas sarung Namicalung memiliki varian motif poléng, tidak mudah luntur, dan termasuk produksi sarung tenun ATBM kualitas terbaik pada jamannya. menghasilkan beberapa motif, yaitu poleng ramat yang oleh masyarakat dikenal dengan poleng camat (beureum-gedang asak), sentiaw (poleng strip biru), kapiur (hideung beureum), poleng tahu (hejo beureum), hideungan disebut juga samarindaan (hideung-ganola), tjaringin (hejo-hideung), dengan sistem jahit sambung tengah. Kegiatan sentra usaha sarung Namicalung hanya berlangsung selama dua generasi, setelah itu berhenti, terhempas dan kandas, tidak ada lagi generasi penerusnya.
Author : Dadan Sungkawa